gambar dari google |
Ngomong-ngomong, setelah ribuan postingan (tsaelaaaah, nggaya dikit boleh, dong) kenapa tiba-tiba ngomongin evolusi, ya? Evolusi Darwin pulak. Judulnya aja keren gitu. “Misteri Awal dan Akhir Hidup Maanusia.” Tsaelah. Apa dirimu kerasukan arwah penyu Galapagos, wahai kisanak? Hehehehe.
Alhamdulillah, saya masih sehat wal afiat, wahai kisanak. Saat saya menulis ini, saya tidak berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang. Saya juga tidak berada dalam tekanan batin, tapi kadang saya suka sedih dan meneteskan air mata kalau berjalan di antara daun gugur tapi hanya melihat keresahanmu~~~
Heu.
Kembali pada pokok permasalahan, demi kemaslahatan orang banyak. Jadi begini. Kayaknya masih banyak orang yang keliru mengartikan teori evolusi Darwin. Rata-rata, mereka menolak teori ini karena terpaku sama evolusi manusia. Konon katanya, manusia itu asalnya dari monyet.
Nah, nah, nah. Supaya pikirannya nggak makin bengkok, mari kita luruskan. Untuk lebih jelasnya, mari simak wawancara saya (S) dengan Om Charles Darwin (OCD). *akrab*
Jadi, jangan cuma terpaku sama bagian “manusia itu asalnya dari monyet”. Perjelas dan pahami dulu konsepnya. Akarnya sama, tapi manusia dan monyet itu berevolusi sendiri-sendiri. Menurut teori evolusi Darwin, sih, gitu. Jangan-jangan selama ini manusia aja yang ke-geer-an. Ngaku-ngaku (nggak mau ngaku) kalo nenek moyangnya adalah monyet. Kalo monyet bisa ngomong, mungkin dia juga ogah punya cucu cem manusia zaman sekarang.
Di sini, saya bukannya mau ngedukung teori evolusi dan nolak teori penciptaan. Selama ini, sains dan agama selalu dipertentangkan. Padahal, sains dan agama itu memang (bisa) sejalan, kok. Kayak aku sama kamu. Heyaaaa~~~
Saya suka hal-hal yang ada pada dirimu. Eh, maksudnya hal-hal yang ada pada teori evolusi.
Sayangnya, kebanyakan orang ngeliat teori evolusi sebelah mata, setengah-setengah. Jadi, yang keliatan cuma sisi buruknya doang. Manusia nggak mau, dong, disamain sama monyet. Jadinya, manusia ngerasa superior dibanding makhluk lain. Suka semena-mena. Nggak ada sayang-sayangnya. Padahal, kan, udah kenal lama?!
Dengan merasa “semua makhluk itu berasal dari akar yang sama”, kita bisa jadi lebih menghargai dan sayang sama semua makhluk yang ada. Tapi, sayang juga bukan berarti, “Aduh, ayam. Aku sayang banget sama kamu. Aku nggak bakal nyakitin kamu. Aku nggak akan makan kamu, sayang.” Kalo kayak gitu, kita menyalahi kodrat ayam namanya. Ayam ada untuk dimakan. Makanya, ada yang namanya rantai makanan.
Semua makhluk di bumi ini punya manfaat untuk makhluk lainnya. Melengkapi satu sama lain. Ini yang kurasakan saat aku bertemu denganmu~~~ Kamu melengkapi aku, aku melengkapi kamu~~~ Hehehe~~~
Ups. Maap suka bablas.
Manusia, sebagai khalifah di bumi, sebagai makhluk yang berakal, punya tugas untuk ngatur, jaga, melihara ini semua. Jangan cuma doyan ngerusakin aje. Hehe.
Oke. Balik lagi soal evolusi. Kata bapak-bapak di iklan lefboy, kuman itu juga berevolusi, jadi makin kuat. Makanya, perlindungan juga harus makin kuat. Nyatanya, yang berevolusi jadi makin kuat bukan cuma kuman, coy. Sosial, budaya, teknolologi, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain juga berevolusi. Buktinya, saya ngetik tulisan ini pake laptop. Nggak harus ngukir prasasti di batu kali.
Hal-hal kayak gini bikin saya sadar, kalo kiamat itu benar-benar ada. Buktinya? Dinosaurus punah. Zaman dinosaurus sudah berakhir. Ya, akhir zaman itu benar-benar ada. Tapi kepunahan dinosaurus itu kayaknya murni karena alam. Entahlah. Karena sampe sekarang kita nggak tahu pasti tentang penyebab kepunahan dinosaurus. Ada yang bilang gunung meletus, gempa bumi mahadahsyat, bintang bertabrakan, debu-debu beterbangan, serangan alien, atau jangan-jangan pemanasan global gara-gara kentut dinosaurus mengandung metana. Ya bisa aja, kan? Zaman dinosaurus dulu juga udah ada pemanasan global keleuuuz. Emang zaman sekarang doang. Ih, kzl.
Dinosaurus udah pernah ngerasain kiamat. Seram. Suram. Sekarang, kita manusia tinggal menunggu kiamatnya manusia. Musnahnya manusia dari muka bumi. Penyebabnya? Kita sendiri. Kitalah yang mengantar diri ini ke depan pintu gerbang kepunahan. Duile, pintu gerbaaaang. Kek bacain janji siswa.
Wah, ternyata panjang juga, ya. Dari evolusi sampe pemanasan nggobal. Nggak nyangka sepanjang ini. Nggak nyangka bisa seserius ini. Yha, intinya githu, yha. Saya ndak tahu awal mula kehidupan manusia. Saya juga ndak tahu gimana akhir zaman manusia. Kata Ari Lasso, segala yang terjadi dalam hidupmu ini adalah misteri Ilahi. Perihnya cobaan hanya ujian kehidupan. Ck. Udah, ah. Wassalam.
Alhamdulillah, saya masih sehat wal afiat, wahai kisanak. Saat saya menulis ini, saya tidak berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang. Saya juga tidak berada dalam tekanan batin, tapi kadang saya suka sedih dan meneteskan air mata kalau berjalan di antara daun gugur tapi hanya melihat keresahanmu~~~
Heu.
Kembali pada pokok permasalahan, demi kemaslahatan orang banyak. Jadi begini. Kayaknya masih banyak orang yang keliru mengartikan teori evolusi Darwin. Rata-rata, mereka menolak teori ini karena terpaku sama evolusi manusia. Konon katanya, manusia itu asalnya dari monyet.
Nah, nah, nah. Supaya pikirannya nggak makin bengkok, mari kita luruskan. Untuk lebih jelasnya, mari simak wawancara saya (S) dengan Om Charles Darwin (OCD). *akrab*
S : Om, apa bener manusia asalnya dari monyet?
OCD : Kata siapa?
S : Lha, kata orang-orang, Om bilang begitu.
OCD : Ah, masa?
S : Ah, iya. Gengsi, dong?! (dalam hati saja)
OCD : Hmmm, kayaknya orang-orang salah mengerti.
S : Jadi maksudnya gimana, Om?
OCD : Menurut Om, makhluk hidup di dunia ini berasal dari akar yang sama.
S : Eh, maksudnya piye tho, Om? Aku ra mudeng.OCD : Hmmm, Om kasih contoh dulu, ya. Coba kamu bayangin, zaman dulu ada bunga A yang tumbuh subur di suatu daerah. Nah, suatu hari, ada gempa bumi. Akibatnya, daerah pertumbuhan bunga A jadi kebagi dua. Lingkungannya pun jadi beda. Anggap aja, daerah pertama dapet sinar matahari yang banyak, terus anginnya kenceng. Sementara daerah kedua, nggak terlalu banyak sinar matahari dan lembap. Nah, supaya tetap bertahan hidup, bunga A di daerah pertama dan kedua ini akhirnya harus menyesuaikan diri sama lingkungannya. Ada seleksi alam dan adaptasi. Karena penyesuaian itu, lama-lama bentuk mereka berubah. Dari bunga A itu, akhirnya muncul deh bunga B, bunga C, dan seterusnya. Tapi semua itu memakan waktu yang lamaaaaaaa banget. Gimana, ngarti ora, Son?
S : Oh gitu, Om. Kalo gitu doang, sih, ngerti. Terus apa hubungannya sama manusia dan monyet, Om?
OCD: Dasar cah gemblung! Baru ngerti sedikit aja udah songong, mau langsung bahas manusia! Pahami dulu konsepnya! Katanya ngerti, coba sekarang jelasin ke Om, buktikan kalo kamu udah ngerti!
S : Waduh! Eh, emmm, nggg, anu, eh, hehehe… (tiba-tiba, tring!, pencerahan datang tiba-tiba!) Oh! Itu mah gancil, Om. Jadi gini. Coba bayangin, ya. Zaman dulu banget, ada makhluk A di suatu daerah. Nah, suatu hari, ada gempa bumi. Akibatnya, daerah tempat hidup makhluk A jadi kebagi dua. Lingkungannya pun jadi beda. Anggap aja, daerah pertama suhunya hangat terus di situ juga gampang dapetin makanan. Sementara daerah kedua, dingin dan agak susah dapetin makanan. Nah, supaya tetap bertahan hidup, makhluk A di daerah pertama dan kedua ini akhirnya harus menyesuaikan diri sama lingkungannya. Ada seleksi alam dan adaptasi. Karena penyesuaian itu, lama-lama bentuk mereka berubah. Dari makhluk A itu, akhirnya muncul deh makhluk B, makhluk C, dan seterusnya. Tapi semua itu memakan waktu yang lamaaaaaaa banget. Gimana, gitu kan, Om?
OCD : Aaaaah, aku tak menyangka kalau kamu mengerti! Ternyata kamu paham maksudku! Tapi kayaknya itu semua kata-kata Om, yaaa! Kamu cuma ganti bunga jadi makhluk!
S : Hehehehehehe. Gitu deh, Om. Tapi sekarang aku ngerti hubungan manusia dan monyet yang Om maksud itu. Makhluk itu sebenarnya berasal dari akar yang sama. Kayak yang tadi Om bilang itu, lho. Hehe. Nah, akar itu lama-lama tumbuh jadi batang yang kuat. Dari batang itu, muncul cabang. Dari cabang, muncul ranting. Makhluk hidup juga gitu. Semua awalnya dari akar dan batang yang sama. Karena ada proses seleksi alam dan adaptasi, makhluk hidup terus bercabang, ada yang jadi unggas, reptil, mamalia, serangga, apa kek gitu bentukannya. Jadi, ya manusia, monyet, tikus, kecoa, semua itu asalnya sama.
OCD : Tul!
Jadi, jangan cuma terpaku sama bagian “manusia itu asalnya dari monyet”. Perjelas dan pahami dulu konsepnya. Akarnya sama, tapi manusia dan monyet itu berevolusi sendiri-sendiri. Menurut teori evolusi Darwin, sih, gitu. Jangan-jangan selama ini manusia aja yang ke-geer-an. Ngaku-ngaku (nggak mau ngaku) kalo nenek moyangnya adalah monyet. Kalo monyet bisa ngomong, mungkin dia juga ogah punya cucu cem manusia zaman sekarang.
Di sini, saya bukannya mau ngedukung teori evolusi dan nolak teori penciptaan. Selama ini, sains dan agama selalu dipertentangkan. Padahal, sains dan agama itu memang (bisa) sejalan, kok. Kayak aku sama kamu. Heyaaaa~~~
Saya suka hal-hal yang ada pada dirimu. Eh, maksudnya hal-hal yang ada pada teori evolusi.
Sayangnya, kebanyakan orang ngeliat teori evolusi sebelah mata, setengah-setengah. Jadi, yang keliatan cuma sisi buruknya doang. Manusia nggak mau, dong, disamain sama monyet. Jadinya, manusia ngerasa superior dibanding makhluk lain. Suka semena-mena. Nggak ada sayang-sayangnya. Padahal, kan, udah kenal lama?!
Dengan merasa “semua makhluk itu berasal dari akar yang sama”, kita bisa jadi lebih menghargai dan sayang sama semua makhluk yang ada. Tapi, sayang juga bukan berarti, “Aduh, ayam. Aku sayang banget sama kamu. Aku nggak bakal nyakitin kamu. Aku nggak akan makan kamu, sayang.” Kalo kayak gitu, kita menyalahi kodrat ayam namanya. Ayam ada untuk dimakan. Makanya, ada yang namanya rantai makanan.
Semua makhluk di bumi ini punya manfaat untuk makhluk lainnya. Melengkapi satu sama lain. Ini yang kurasakan saat aku bertemu denganmu~~~ Kamu melengkapi aku, aku melengkapi kamu~~~ Hehehe~~~
Ups. Maap suka bablas.
Manusia, sebagai khalifah di bumi, sebagai makhluk yang berakal, punya tugas untuk ngatur, jaga, melihara ini semua. Jangan cuma doyan ngerusakin aje. Hehe.
Oke. Balik lagi soal evolusi. Kata bapak-bapak di iklan lefboy, kuman itu juga berevolusi, jadi makin kuat. Makanya, perlindungan juga harus makin kuat. Nyatanya, yang berevolusi jadi makin kuat bukan cuma kuman, coy. Sosial, budaya, teknolologi, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain juga berevolusi. Buktinya, saya ngetik tulisan ini pake laptop. Nggak harus ngukir prasasti di batu kali.
Hal-hal kayak gini bikin saya sadar, kalo kiamat itu benar-benar ada. Buktinya? Dinosaurus punah. Zaman dinosaurus sudah berakhir. Ya, akhir zaman itu benar-benar ada. Tapi kepunahan dinosaurus itu kayaknya murni karena alam. Entahlah. Karena sampe sekarang kita nggak tahu pasti tentang penyebab kepunahan dinosaurus. Ada yang bilang gunung meletus, gempa bumi mahadahsyat, bintang bertabrakan, debu-debu beterbangan, serangan alien, atau jangan-jangan pemanasan global gara-gara kentut dinosaurus mengandung metana. Ya bisa aja, kan? Zaman dinosaurus dulu juga udah ada pemanasan global keleuuuz. Emang zaman sekarang doang. Ih, kzl.
Dinosaurus udah pernah ngerasain kiamat. Seram. Suram. Sekarang, kita manusia tinggal menunggu kiamatnya manusia. Musnahnya manusia dari muka bumi. Penyebabnya? Kita sendiri. Kitalah yang mengantar diri ini ke depan pintu gerbang kepunahan. Duile, pintu gerbaaaang. Kek bacain janji siswa.
Wah, ternyata panjang juga, ya. Dari evolusi sampe pemanasan nggobal. Nggak nyangka sepanjang ini. Nggak nyangka bisa seserius ini. Yha, intinya githu, yha. Saya ndak tahu awal mula kehidupan manusia. Saya juga ndak tahu gimana akhir zaman manusia. Kata Ari Lasso, segala yang terjadi dalam hidupmu ini adalah misteri Ilahi. Perihnya cobaan hanya ujian kehidupan. Ck. Udah, ah. Wassalam.
Science Up. dok pribadi |
No comments:
Post a Comment