Sepeda tua yang sudah berkarat kutuntun dengan pelan. Sengaja aku menuntunnya. Bukan karena bannya kempes atau pun bocor. Bukan karena rantainya lepas atau pun putus. Aku menuntunnya karena aku ingin menuntunnya. Ya, karena itu.
Au tak pandai bernyanyi. Bersenandung pun aku sumbang. Jadi, aku bingung bagaimana memudarkan kesunyian jalanan ini.
"Hai, burung. Maukah kau berkicau untukku?"
"Hai, bambu. Maukah kau bersiul untukku?"
Namun, tak ada yang menjawab. Burung diam. Bambu diam. Semua diam. Burung masih saja bertengger di ranting pepohonan. Dan bambu, masih saja teronggok dengan duri-duri halusnya.
Ah. Biarlah. Burung tak mau berkicau untukku, tak apa. Bambu tak mau bersiul untukku, tak apa. Tak ada bebunyian, tak apa. Asal aku masih bisa mendengar degup jantungku, aku bahagia.
"Hai, ilalang. Di manakah aku berada? Tempat ini terlalu asing bagiku. Dan aneh. Ya. Aneh"
Aku menengok ke kanan dan ke kiri mengamati semua yang ada. Semua pernah kulihat. Makhluk-makhluk itu, semuanya, pernah kulihat. Namun, mengapa semuanya terasa begitu mengganjal batinku?
Pandanganku kembali berpaling pada ilalang. Lagi-lagi aku kecewa. Sama seperti burung dan bambu, dia diam saja.
(MARI LANJUTKAN ESOK HARI. SELAMAT MENANTI)
No comments:
Post a Comment