Ketika saya masih mengenakan seragam putih-merah alias masih duduk di bangku sekolah dasar, ada satu permainan yang sangat digemari di seantero sekolah terutama di kelas saya. Saya atau teman saya selalu membawa permainan tersebut. Kami selalu menantikan bel istirahat berdentang agar kami dapat mengisi waktu istirahat dengan bermain permainan itu.
Lompat tali. Itulah nama permainannya. Aturan mainnya sangat mudah, yakni kami harus bisa melompati tali—yang terbuat dari karet gelang berwarna-warni yang dirangkai seperti rantai—yang tiap-tiap sisinya dipegang oleh anak yang ‘jaga’.
Sebelum melompat, kami harus melakukan ritual “Hompimpa Alaihum Gambreng”, yaitu gerakan membolak-balikkan tangan untuk menentukan urutan pemain dan anak yang memegang tali.
Setelah ritual “Hompimpa Alaihum Gambreng” selesai, permainan pun dimulai. Lompatan pertama adalah lompatan yang mudah yaitu lompatan ‘jongkok’. Pemain harus melompati tali yang direntangkan setinggi posisi jongkok anak yang ‘jaga’, kurang lebih hanya
Tidak jarang tali karet yang digunakan putus di tengah-tengah permainan. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat kami untuk tetap bermain. Dengan segala daya dan upaya kami berusaha untuk menyambung hidup tali tersebut.
Suatu hari, kami sangat kecewa karena pihak sekolah tidak mengizinkan siswa-siswinya bermain lompat tali lagi. Mereka menganggap permainan ini berbahaya karena risiko terjatuh yang dapat mengakibatkan luka bahkan patah tulang sangat besar. Namun, karena sifat anak-anak yang masih sulit diberi tahu dan demi berlangsungnya dunia bermain kami, larangan itu kami abaikan saja.
Menurut saya, permainan ini membawa pengaruh positif dalam proses tumbuh kembang anak. Permainan ini menumbuhkan sikap sportif yang memang harus dibangun sejak usia dini. Selain itu, permainan ini juga melatih anak untuk tidak takut dalam menghadapi tantangan dan harus optimis. Dan, anak yang memiliki bakat di bidang atletik pun dapat berlatih dan mengembangkan bakatnya itu. Namun yang perlu diingat, orangtua dan lingkungan juga harus ikut berpartisipasi serta mengawasi—tanpa bertindak menghakimi—semua kegiatan anak karena ini berkaitan dengan kehidupan anak di masa yang akan datang.
*Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Pengkajian Sastra Anak.
No comments:
Post a Comment